Tulisan ini dibuat
untuk memenuhi salah satu tugas misi mingguan dari Institut Ibu Profesional,
yang ternyata menjadi sebuah tulisan kontemplasi yang sangat bermakna bagi diri
saya. Saya sampai merasa kaget dengan ending
tulisan ini. Tulisan ini saya buat tanpa editing
kata-kata, semuanya murni pikiran yang tertuang secara spontan, jadi mohon maaf
kalau sedikit kurang teratur alurnya. Semoga bermanfaat.
#navigasidanberaksi
#matrikulasibatch8
#institutibuprofesional
#belajardarirumah
Sebuah Kontemplasi Peran
Kehidupan
Peran?
Apa ya sebenarnya peran saya saat ini? Yuk
diriku, mari kita gali!
Peran utama
seorang Raehana dalam hidup ini (pada saat ini) adalah sebagai seorang istri
dan ibu. Peran sampingan lainnya adalah sebagai seorang anak, menantu, kakak,
dan seorang adik. Itu aja Ray?
Oh
ternyata ada peran lain dalam lingkungan sosial, peran sebagai pengurus
komunitas babywearing yang ternyata
konsekuensinya adalah sering mendapat japrian emak-emak yang berkonsultasi tentang babywearing. Tapi ternyata semakin kesini, lebih banyak lagi orang
yang menghubungi saya untuk berkonsultasi terkait MPASI karena saya sering
memberikan jawaban-jawaban dari pertanyaan ibu-ibu di grup WhatsApp (WA)
tentang MPASI, karena memang makan-memakan adalah bidang kuliah saya, yaitu
teknologi pangan. Makin kesini, makin ada saja japrian yang berisi konsultasi padahal saya bukan konsultan,
sekarang masalah parenting juga
ditanyakan ke saya. Hal ini karena saya pernah sedikit berbagi dari training parenting yang pernah saya
ikuti.
Apakah
mungkin peran saya juga sebagai tempat curhat
emak-emak yang bahkan saya nggak
kenal? Yah, it’s not bad sih ya, even it’s
good. Karena mereka sering berterimakasih ke saya dan mengatakan bahwa apa
yang saya sarankan pada mereka dapat membantu mereka. Eh tapi masalahnya, kadang saya fokus membalas japrian emak-emak di dunia maya, tapi saya jadi mengesampingkan
tugas saya di dunia nyata nih. Udah gitu, saya suka nggak tahan kalau ada notifikasi di HP
yang belum kebuka, dan sekalinya buka
notifikasi, nggak tahan saya pengen
membalas pesan mereka, entah itu IG atau WA. Bukan hal buruk ya sebenarnya,
karena saya sedang membagi ilmu dan pengalaman saya. Tapi kok ternyata hal ini membuat saya terlalu tenggelam ya dengan semua
kata terimakasih dari mereka dan membuat saya jadi candu membalas WhatsApp sana
sini.
Pernah
beberapa kali suami saya sedang menunggu saya untuk melakukan sesuatu bersama,
tapi sayanya tidak kunjung nongol
karena curi-curi kesempatan untuk balesin
WA, karena di WA saya merasa dibutuhkan, rasanya jadi menyenangkan. Efeknya
yang terburuk adalah, hal ini kemudian membuat semua aktivitas saya ternyata
jadi molor, dan beberapa target gatot alias gagal total, kecewa sendiri deh. Bahkan bukan cuma saya yang kecewa,
suami saya pastinya juga kecewa, meskipun beliau selalu bilang “nggak apa-apa, Ma”, tapi saya yakin
beliau tidak benar-benar lega hati mengatakannya. MasyaAllah saya dapat suami yang luas hatinya macam beliau. Tapi
juga kadang-kadang kalau saat suasana sedang panas, lelah, penuh dengan challenge kehidupan, saya dan suami pun
bertengkar yang akhirnya terungkit juga kesalahan saya sehari-hari yang beliau
sudah berusaha maafkan dan bilang “ngak
apa-apa” itu. Disitulah akhirnya saya sadar bahwa saya tidak sepenuhnya
betul dalam berbagi dengan ibu-ibu di dunia maya.
Di
sisi lain, saya sebenarnya melihat efek positif juga dari kebiasaan saya
berbagi pengalaman itu, yaitu ketika saya berbagi, saya akan berpikir solusi
secara logis, dan kadang saya justru menemukan hal yang salah atau yang kurang
dari penerapan ilmu saya, sehingga saya bisa memperbaiki penerapan itu ke
keluarga saya.
Tapi
apakah se-worth it itu efeknya? Hmmm, mikir dulu.
Sejujurnya
kadang-kadang cukup worth it sih, tapi kalau malah kewajiban saya terhadap suami dan anak jadi terkesampingkan?
Kalau malah akhirnya target pribadi
gagal terlaksana? Sepertinya tidak sepadan ya. Hal ini juga yang membuat waktu
saya terlenakan dengan begitu saja. Boro-boro
bisa ontime beberapa agenda saja
sering gagal.
Bahkan
kadang saya bela-bela-in begadang
untuk mengurusi japrian orang, atau
segala hal perdunia-mayaan lainnya. Saya senang dan ingin melakukannya, tapi
saya jadi lupa waktu. Saya tidak pernah tidur di bawah jam 11 malam. Paling sering
tidur jam 1 malam, wah parah sekali
ya saya (setelah mengetik ini baru sadar, sungguh-sungguh terimakasih IIP,
membantu saya menyadari ini).
Efek buruk
lainnya adalah saya tidak bisa mendampingi anak saya bermain dengan totalitas.
Saya tidak sempat membuatkan mainan stimulasi yang selalu hanya ada di pikiran
saya dan menjadi impian yang tidak kunjung tercapai. Ketika mendampingi anak
saya, saya juga jadi mengantuk dan lemas, sepertinya karena hak tubuh saya
tidak terpenuhi.
Oke, jadi kesimpulannya,
tantangan saya adalah kegagalan manajemen
gadget. Kebiasaan terlena dengan gadget itu membuat saya terbiasa
berleha-leha, yah cover-nya sih rebahan produktif karena sharing pengalaman dan merasa bermakna.
Tapi mudharat-nya ternyata lebih
banyak daripada manfaatnya, hiks.
Kebiasaan
rebahan itu membuat saya jadi lupa waktu, sehingga saya jadi punya tantangan
selanjutnya dalam menjalani peran saya, manajemen
waktu.
Dua
tantangan, manajemen gadget dan
menejemen waktu, yang sebenarnya berakar dari kemauan saya untuk mau menahan
diri dari membuka gadget dan mengatur
waktu yang tepat untuk ber-gadget
ria, kalau kata salah satu guru parenting
yang saya anut, kedua tantangan itu tercakup dalam manajemen diri, artinya yang di-manage
itu bukan gadget-nya atau waktunya
tapi diri saya-nya. Tapi bagaimana caranya menahan diri dari semua itu? Ngak tahaaaaaan. (ini aja sambil ngetik, nggak tahan checking WhatsApp dulu, balas WhatsApp nggak penting dulu)
Oh tidaaaaak! Cukup! Sudah difasilitasi oleh
IIP, harus berubah mulai dari sekarang! Bismillah.
Aku
insyaallah bisa (ayo ayo ayo, lebih mantab lagi Raehana!), karena di dalam diri
saya ada karakter moral ibu professional yang menjadi kekuatan saya, apakah
itu? (mikir dulu)
Yap I found it!
Saya
pandai dan suka merencanakan, mengatur
jadwal, dan membuat timeline
(jiwa-jiwa sie acara hahaha). Menggunakan
kapabilitas itu, saya mulai sekarang harus mau mengatur jadwal penggunaan gadget dan membalas pesan. Saya juga
harus membuat kesepakatan dengan suami, agar suami saya ridho ketika saya harus berbalas pesan tertentu. Karrna tentunya
kadang kami harus bergantian menjaga anak yang masih bayi.
Selain
mengatur jadwal penggunaan gadget,
saya juga harus memperbaiki pengaturan jadwal harian yang berantakan selama ini. Bangun harus lebih awal lagi, agar semua
bisa terlaksana. Tapi tidak mungkin bisa bangun awal kalau tidur jam 1 atau jam
2 malam terus. Bisakah saya tidur lebih awal? Yang menjadi pilihan tidur malam
adalah karena malam begitu tenang dan saya bisa mengerjakan segala pekerjaan di
laptop dan HP tanpa terganggu anak saya yang masih butuh perhatian full. Kalau begitu, bagaimana caranya
saya tidur lebih awal tapi pekerjaan di laptop dan bergadget ria tetap bisa terlaksana?
Oh, sepertinya saya harus mengerjakan semua
tugas di laptop lebih awal dan dimulai sejak jauh-jauh hari, agar saya punya
selang waktu yang cukup untuk menyelesaikan. Tidak masalah kalau baru selesai
beberapa hari kemudian, yang penting belum terlambat dan saya jadi tidak dzolim terhadap peran saya di rumah.
Tapi
itu kan pekerjaan yang harus
dikerjakan, bagaimana dengan waktu untuk belajar ilmu-ilmu yang sudah saya
rinci untuk dipelajari? (gimana ya gimana
ya gimana ya). Hmm, agaknya butuh
bergantian ya, kalau pekerjaan sudah selesai, saya bisa pakai waktu saya
belajar, lalu me-resume agar tidak
lupa. Eh masih ada tapi, tapi tapi tapi, pekerjaan saya banyak sekali!
Raehanun : “banyak?
Banyak itu berapa?”
Raehana : “Banyak
pokoknya, orang nggak selesai-selesai!”
Raehanun : “Ya kalau
gitu di-list apa saja yang harus kamu
kerjakan, terus dikerjakan satu per satu!”
Raehana : “Udah tauk! Selama ini aku udah list tapi nggak kelar kelar, Nun”
Raehanun : “Nggak kelar-kelar itu kan karena masalah
manajemen gadget kamu tadi! Bukannya dikerjain malah balesin WhatsApp mulu sih!”
Raehana: “Iya sih, tapi
nggak tahan Nun buat balesin”
Raehanun : “Mau berubah
lebih baik nggak?”
Raehana: “Mau”
Raehanun : “Paksa diri
mulai dari sekarang, kayak kata mbak
Alisa Gumala tuh! Paksa diri kamu menuju
perubahan yang kamu targetkan! Paksa sampai akhirnya jadi terbiasa!
Raehana : “Iya sih
bener juga. Tapi kalau list-nya
banyak dan nggak kelar-kelar aku stress, Nun!”
Raehanun : “Siapa yang
kemarin nulis di salah satu misi IP
kalau manusia itu terus bertumbuh, kalau manusia itu nggak wajib berhasil dalam setiap proses, kalau manusia itu cuma
wajib berproses menuju hasil?”
Raehana : “Aku sih,
tapi itu kan maksud aku untuk tipe ikhtiar yang lebih besar bukan buat
pekerjaan harian kayak gini”
Raehanun : “Ikhtiar
yang lebih besar tuh yang gimana coba? ditelaah dulu”
Raehana : “Ya ikhtiar
yang kayak semacam mencapai impian gitu,
kayak misalnya mau kuliah di luar
negeri, mau jadi ibu yang nggak
marah-marah, kan itu hal-hal yang butuh proses panjang, jadi kita fokus sama
prosesnya, hasilnya diserahkan sama Allah”
Raehanun : “Sekarang
bayangin ya Ray, kalau kamu mau mencapai salah satu cita-cita untuk jadi “ibu yang
nggak marah-marah”, tapi kamunya
selama ini tidak memenuhi hak tubuhmu untuk istirahat karena kamu ber-gadget ria, karena kamu terlena dengan
kesibukan dunia maya. Akhirnya, kamu lelah, udah
tau kan selama ini kalau lelah akhirnya emosi juga. Disuruh disosiasi juga
gagal terus. Terus mendampingi anak jadi nggak
optimal, terus nyesel. Habis nyesel, sedih, menyalahkan diri sendiri,
emosi negatif lagi yang menguasai diri kamu. Gimana mau jadi ibu yang nggak
marah-marah?”
Raehana : “Iya juga
sih. Semua saling terhubung ya Nun”
Raehanun : “Iya, makanya, sekarang mau nggak memaksa diri dulu untuk nggak pegang gadget?”
Raehana : “Kuat nggak ya”
Raehanun : “Mau dulu
apa nggak? kekuatan itu dari Allah, kamunya dulu mau apa nggak
Raehana : “Mau banget“
Raehanun : “Nah! Itu
aja mau pake banget, kalau mau banget diinget-inget! Setiap mau pegang gadget di luar jadwal, kamu inget-inget
kalau gadget di luar jadwal ini bisa
bikin seluruh agendamu berantakan,
tugasmu dan pekerjaan yang di laptop tertunda, alhasil mau sharing lebih bermanfaat juga nggak
bisa karena nggak sempet nulis di blog. Padahal kamu pernah lho janji sama beberapa orang, bahwa kamu mau menuliskan di blog aja tentang pertanyaan mereka ke kamu,
karena saking panjangnya ceritanya.
Raehana : (Ya Allah,
ini self talk saya kok mak
jleb banget ya, hati saya beneran nyut-nyutan
ini mengetik kata-kata si Raehanun ini)
Raehanun : “Inget-inget kalau kamu pegang gadget di luar jadwal bisa bahaya, bisa
jadi sumber bertengkar sama suami, karena tugas-tugasmu sebagai istri
terbengkalai. Bisa menyalahkan diri sendiri juga karena targetan harian gagal terlaksana. Anak juga yang jadi korban,
karena nggak terdampingi dengan totalitas”
Raehana : (jleb jleb jleb jleb)
Raehanun : “Ayolah
sayangi diri kamu Raehana, kamu bisa kok merasa lebih puas dan lebih bahagia
karena berhasil menjalankan peranmu sebagai istri dan ibu. Nanti juga berimbas terhadap
peranmu yang lain insyaallah, kalau Allah ridho pasti kamu juga akan dikasih kesempatan untuk sharing bahkan dimudahkan untuk mencerna
ilmu yang relevan dengan lebih baik lagi, bahkan dimudahkan untuk menerapkan
ilmunya. Bahkan, mungkin juga Allah mudahkan kamu beneran jadi konsultan MPASI, jadi Widya Iswara di IIP (hihihi), atau bisa jadi team sharing Enlightening Parenting
(hihihi). Kalau memang semuanya Allah ridhoi pasti bisa tuh! Lebih bermanfaat kan? lebih keren
kan? tapi ya harus dimulai dengan perubahan dong!”
Raehana : (berbinar) “Waaaaah… iya juga ya”
Raehanun : “Yuk
dimulai, tiap kali kamu gagal, jangan
lupa ngobrol ama aku ya Ray. Biar
bisa balik lagi mendengar insight positif
dari aku”
Raehana : “Wah iya iya,
Nun! makasih ya Nun udah mau
mendampingi aku dalam perubahan ini”
Wah
MasyaAllah senangnya saya berkontemplasi dengan self talk saya sendiri, bahkan saya jadi merasa ada yang jagain, merasa mendapat teman yang
mendampingi saya. Dan yang terhebat dari obrolan
dengan self talk ini adalah saya menemukan solusi.
Berbicara
dengan self talk ini merupakan salah
satu ilmu yang saya dapat dari dialog parenting
yang saya ikuti. Pada saat berbicara dengan diri kita yang lain dalam
bentuk self talk, kita jadi menemukan
sudut pandang yang berbeda yang kita juga yakini kebenarannya. Jadi, kita bisa
menasihati diri kita sendiri dengan mudah. Nah,
sekarang saya jadi menemukan satu lagi karakter moral ibu professional pada
diri saya, yaitu kemampuan manajemen self talk.
Wah
ternyata saya bisa menemukan solusi dengan berkontemplasi pada tulisan ini. Mulai sekarang saya akan menyelipkan jadwal
penggunaan gadget pada jadwal harian
yang sudah saya sepakati dengan suami saya. Dan satu hal penting, saya harus
memaksa diri saya untuk patuh pada aturan yang saya buat sendiri.
Terakhir,
satu lagi yang menguatkan saya, yaitu saya masih punya karakter moral ibu
professional yang belum saya sebutkan dan terselip dalam diri saya, yaitu saya orang yang taat aturan dan selalu
gelisah setiap melanggar aturan, oleh karena itu saya akan mudah untuk patuh
pada aturan yang saya buat.
Bismillah
J .
Terimakasih IIP.
Comments
Post a Comment