Skip to main content

KERETA

Aku selalu suka kereta. Dulu ketika aku kecil, aku suka melihatnya lewat dengan cepat  di perempatan perlintasan kereta dekat rumahku. Ya, aku mengagumi kereta. Ayah dan ibulah yang membuatku mengaguminya, entah kenapa. Dahulu, ketika kakiku belum mampu menapak bumi, sengaja ayah atau pun ibu membawaku ke perempatan perlintasan kereta. Berbagai macam tujuannya. Kadang kala ibu ingin meningkatkaan nafsu makanku –karena melihat kereta lewat membuat aku lebih banyak menelan sarapan dan makan siangku-, kadang kala untuk menghentikan tangisku yang melengking, kadang kala hanya untuk melambaikan tangan mengantar kepergiannya.
Dan begitulah seterusnya, hingga tibalah aku pada tahun ketujuh hidupku di dunia. Kebiasaan itu mulai menghilang seiring  munculnya berbagai pertanyaan di otakku, kenapa kita melambai pada kereta sementara kereta tak pernah memedulikan kita, kepada siapa sebenarnya kita melambai, dan sebuah pertanyaan titik balik yang berbunyi apa bagusnya melihat kereta lewat, sementara ia hanya berupa jajaran gerbong yang disusun. Tak pernah kutemukan jawaban itu, namun aku masih menyukai kereta. Hingga kini, Hingga aku telah menginjak kepala dua.
Sama seperti dulu, aku tetap menyukai kereta, bagaimana pun ia. Namun, satu hal yang membedakan : aku tak lagi suka melihatnya lewat, tapi kini aku suka menaikinya. Seperti sekarang, aku duduk di atas kursi bernomor 23 A. Mataku terpancang pada bangunan tua stasiun yana rasa-rasanya sudah harus pensiun. Tak lagi layak disebut stasiun. Aku hendak pergi ke Jakarta. Kemana? Entah. Aku hanya ingin naik kereta saja. Aku selalu menyukainya. Aku suka melihat pepohonan berlarian ke belakang ketika aku berada di dalam kereta yang berjalan. Aku suka melihat motor dan mobil berhenti di balik palang perlintasan kereta api, demi memberi waktu kereta tumpanganku untuk lewat –serasa raja yang diangkut tandu-. Aku suka melihat halaman belakang rumah-rumah orang yang kami lewati. Dan aku suka melihat pemandangan yang tak dapat aku lihat dari jalan raya.
Lima belas menit aku termangu, hingga akhirnya kudengar bunyi yang khas, tanda kereta hendak melaju. Aku menyiapkan mataku untuk melongok ke jendela. Kursi sebelahku kosong, aku bebas melakukan apapun. Dan ini membuatku semakin suka naik kereta.
Hari ini aku pergi untuk ayah. Tepatnya untuk menghindari ayah, untuk kabur dari ayah, untuk menunjukkan kepada ayah bahwa aku mampu melakukan apa yang aku inginkan dan tak perlu selalu menuruti semua perkataannya. Ayah harus tahu, bahwa aku bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudah mengangkat tangan dan menggerakkannya ke kanan kiri, ketika ia menyuruhku melambai pada kereta. Aku sudah bilang pada ayah, jangan paksa aku menjadi arsitek. Aku ingin kuliah seni. Dan tidakkah ia lihat? bahwa aku telah diterima di Institut Seni Indonesia, sesuai dengan cita-citaku sejak kecil. Tidakkah ia lihat? Bahwa aku telah mencoba untuk mengikuti kehendaknya dengan mendaftarkan diri pada jurusan arsitek –namun tetap aku tidak lolos ujian-. Tidakkah ia lihat bakatku ini?. Sekarang aku terombang-ambing tak bisa kuliah karen ayah tak mau lagi membiayaiku. Hanya karena aku tidak kuliah di jurusan arsitek. Aku benci ayah. Ayah selalu memaksakan kehendaknya. Aku benci ayah. Aku benci ayah.
Keretaku mulai melewati kali-kali kecil di tepi sawah. Hijau membentang, rerumputan bakal padi ditata berjajar dengan cantiknya, menjadi hamparan hijau yang luas membentang. Aku menarik nafas dalam-dalam, meghirup alam kebebasan. Tanpa ayah.
Tak lama berselang, keretaku berhenti di sebuah stasiun kecil. Di balik jendela, kulihat puluhan orang berlarian menyerbu memasuki gerbong demi gerbong. Gerbong yang kududuki mulai dipenuhi semakin banyak orang, termasuk lelaki itu. rambutnya tebal namun berwarna putih, ia telah begitu tua. Namun bandanya tegap, masih segar dan sehat kenampakannya. Jika saja rambut putih dan beberapa keriput tidak bertengger, pantaslah ia menjadi guru olah raga.
Ia duduk di sampingku, memberiku sebuah senyum yang kubalas dengan senyum pula seadanya. Sejujurnya aku sedang malas untuk tersenyum.
“Mau kemana nak?”
“Jakarta Pak”
“Ow, sama kalau begitu”
Ya iyalah, kita naik kereta yang sama, batinku.
“Saya dari klaten, datang ke Surabaya, ke rumah saudara”, ia memulai pembicaraan. “Sekarang saya mau ke Jakarta ke tempat sepupu”
Aku hanya diam, sedikit mengangguk, tanda sopan.
“Capek sekali rasanya. Badan sudah tua, tulang sudah rapuh. Tapi saya sudah terlanjur janji mau datang ke rumah sepupu saya di Jakarta. Nanti saya akan di jemput di Stasiun Gambir. Kabarnya, sepupu saya itu akan mengajak saya ke Monas juga. Hahaha. Sudah pernah ke monas?”
Aku menggeleng.
“Ah, kamu harus datang ke monas. Nanti ketika keluar dari stasiun, kamu akan melihat monas menjulang menantang langit”
Aku tersenyum sopan. Lalu menolehkan pandangan ke jendela. Berharap ia tak mengajakku bicara lagi. Aku ingin menikmati perjalanan keretaku sendiri.
“Nak”, ah… ia memanggilku lagi, terpaksa aku menoleh.
“Pemandangan di balik jendela kereta selalu mengagumkan ya? Saya juga menyukainya. Sejak kecil. Saya sejak kecil selalu diajak ayah saya menaiki kereta. Menyenangkan sekali rasanya bisa berada di dalam kereta dan melihat anak kecil lain seusia saya melambaikan tangan pada saya, meskipun mereka tidak kenal saya. Walaupun mungkin mereka sebenarnya tak bermaksud memberikan lambaian tangan pada saya, tapi saya senang mereka melambaikan tangannya. Padahal saya tahu, mereka itu hanya melakukan ritual kereta saja”
Aku menoleh dengan wajah bertanya-tanya.
“Iya, ritual kereta”, ia menjawab seakan ia tahu maksudku, “tahu kan? Ritual yang dilakukan oleh anak-anak kecil, yaitu melambai pada kereta yang lewat. Meskipun mereka tidak tahu kepada siapa sebenarnya mereka melambai, hahahaha”
“Omong-omong, saya sebenarnya lebih suka naik kereta ekonomi daripada bisnis. Kalau kereta berhenti, kadang saya penasaran saya sudah tiba di kota mana, kalau posisi saya dekat jendela sih gampang, bisa melongok dan mencari tulisan nama kota, itu pun kalau ada tulisan. Tapi kalau posisi saya jauh dari jendela kan susah. Nah, kalau naik kereta ekonomi, kita tidak usah melongok ke jendela, kita sudah tahu berada dimana. Kalau ada pedagang yang masuk kereta dan berteriak lanting lanting lanting, berarti kita sudah sampai Cilacap. Nah, kalau ada pedagang udang goreng, berarti kita sudah sampai Cirebon. Kalau sudah banyak pedagang nasi uduk, sampailah kita di Jakarta. Hahahaha. Begitu kan? Hahaha”
Aku ikut tertawa sedikit.  
“Dari cara kamu melihat ke jendela, kamu sepertinya suka naik kereta juga?”
Aku mengangguk.
“Hahaha, dan waktu kecil pasti suka melakukan ritual kereta. Hahaha. Kamu seperti anakku. Hahahaha. Dimana ya anakku sekarang. Kangen”
Ia berhenti tanpa suara. Memangnya dimana anakmu pak? Bagaimana bisa seorang ayah tidak tahu keberadaan anaknya. Ayah macam apa…, batinku.
“Yah, bagaimana aku bisa tahu dimana dia berada. Dia kabur dari rumah”, aku tersentak. Seolah ia bisa membaca pikiranku. Dan sekaligus menyindirku.
“Dia kabur cuma karena masalah sepele. Komunikasi. Komunikasi itu sederhana tetapi sangat berpengaruh. Hahaha. Semoga dia dalam keadaan sehat. Saya ke Jakarta juga sekaligus berharap bisa bertemu dengan dia. Kalau saya tebak, dia pasti kabur ke Jakarta. Sudah setahun. Hahaha. Dan saya masih juga sering menitikkan air mata kalau ingat dia”
Benar. Ia berkaca-kaca.
“Saya bertengkar hebat dengan dia, hanya karena saya memintanya untuk bekerja di perusahaan yang saya rintis. Menggantikan saya yang sudah tua, habis mau bagaimana lagi. saya sudah tua, siapa yang akan menggantikan saya. Kalau perusahaan saya tidak diurus, bisa kacau keadaan ekonomi keluarga kami”, Bapak itu mengambil nafas.
“Yah, anak muda dan cita-cita mereka. saya juga pernah muda, dan pernah idealis juga. Saya mengerti anak saya punya keinginan. Dia ingin kuliah di jurusan arsitek. Saya melarangnya”
Deg. Jantungku. Kebetulan macam apa ini.
“Saya ingin dia meneruskan perusahaan. tapi dia tidak menangkap maksud saya. Saya hanya ingin perusahaan itu diteruskan degan baik, sedikit saja belajar dan tinggal jalankan saja. Ketika dia nanti jadi pemimpin, bisa saja urusan itu ia serahkan kepada anak buahnya. Sesekali bisa ia sekedar mengecek ke kantor. Kalau sudah tidak sibuk, baru kuliah. Kan laki-laki itu modalnya mapan. Yah bukannya berpatok pada harta, tapi setiap orang tua yang punya anak wanita pasti lebih ayem tentrem kalau menyerahkan anak wanitanya kepada lelaki yang sudah mapan. Saya ndak mau anak saya itu seperti saya. Sudah usia sangat tua, baru bisa menikah. Saya menikah di usia 35 tahun, karena tidak punya modal”
“Saya cuma ingin yang terbaik untuk anak saya. Saya kan sudah tua, lebih lama hidup di dunia, sudah pernah merasakan tidak enaknya. Saya cuma tidak mau anak saya merasakan apa yang saya rasakan”
Apakah ayah juga begitu, batinku.
“Ya tentu saja setiap ayah menginginkan yang terbaik buat anaknya”
Deg. Jantungku lagi. gawat. Aku tidak boleh membatin lagi, dia bisa baca pikiranku.
“Hanya saja, setiap ayah punya cara sendiri-sendiri”
Benarkah itu?
“Pasti setiap ayah begitu. Tidak hanya saya. Kamu mau pergi kuliah ke Jakarta?”
“Merantau Pak”
“Sudah pamit ayahmu kan?”
Aku diam. Lurus ke depan. Menerawang.
“Kamu anak yang berkemauan keras, sampai merantau ke Jakarta. Pasti ayahmu mendidikmu dengan baik. Ayahmu bekerja dimana?”
“Biro arsitek”
“Wah sudah sukses kah?”
“Sudah punya biro sendiri Pak”
“Wah, sudah adakah penerus ayahmu?”
Aku menggeleng. Bapak itu merubah raut wajahnya.
“Ayahmu hanya harus berusaha lebih keras untuk mengghidupi keluargamu. Suatu saat, jika kamu sudah sukses menjadi apa yang kamu mau. Kabari ayahmu ya… tersiksa sekali rasanya jadi ayah yang ditinggal anaknya tidak tahu kemana. Padahal anak adalah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan oleh seorang ayah. Saya mau tidur dulu ya, capek. Hahaha”
Bapak tua memejamkan mata. Begitu pula aku.
***
Stasiun Gambir. Aku mengerjapkan mata. Memandang pagi yang masih sedikit redup. Kulihat Monas menusuk langit yang hendak benderang. Aku duduk terdiam. Lama. Jakarta, sudah tiba aku di tanah perantauan ini. lalu hendak kemana? Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi pemain biola professional? Ngamen di Jakarta? Ah!
Aku hanya duduk memandangi Monas. Kulihat sang bapak tua telah bersama dengan dua orang suami istri, rambutnya sudah putih semua pula. Tiba-tiba aku teringat kata-kata ayah waktu aku kecil, Kalau kamu sudah besar, jadilah anak yang kuat. Dan jadilah kebanggaan ayah. Maafkan ayah jika suatu saat ayah khilaf dan tak mau mendengarkan kekuatanmu. Beritahukan dengan baik pada ayah tentang kekuatanmu. Jangan kau simpulkan sendiri ya nak. Karena ayah tak terlalu pandai mengungkapkan rasa sayang ayah yang mebuncah ini. kata-kata itu Ia ucapkan saat aku masih berusia enam tahun, tapi aku masih mengingat detailnya. Jadilah anak yang kuat. Ya, inilah kekuatanku. Aku telah memutuskan pergi ke Jakarta dengan kekuatanku itu. Lalu terngiang olehku kata-kata si bapak tua, komunikasi. Lalu teringat pula aku kata-kata ayah lagi, Beritahukan dengan baik pada ayah tentang kekuatanmu. Karena ayah tak terlalu pandai mengungkapkan rasa sayang ayah yang mebuncah ini.

Dari jauh, bapak tua melambai padaku. Aku membalas dengan anggukan sopan. Aku berdiri beranjak dari tempatku termangu. Aku menuju loket pembelian tiket. Jam berapapun itu, harus kudapatkan tiket kembali pulang ke Surabaya. Untuk sebuah komunikasi.

Comments

Favorite Bite

KOLANG KALING FOR ANALGESIK IN OSTEOARTHRITIS

dari prasetya.ub.ac.id ini penelitian kami berlima :) , ide dari dospem kami yang perhatian Dr.Ir.Elok Zubaidah,MP. Lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) berhasil menggali potensi kolang-kaling menjadi obat terapi nyeri sendi atau osteoarthritis .  Lima mahasiswa tersebut adalah Raehana Saria Gahari (FTP), Khusnul Khotimah (FTP), Hasia Azizah (FTP), Yuan Laura (FK) dan Indah Rahma Putri (FK). Kolang-kaling yang pada umumnya digunakan untuk campuran minuman ternyata memiliki manfaat besar bagi gerak tubuh yang kaku. Yaitu sebagai pangan nutrasetikal yang berfungsi untuk terapi sehat bagi penderita osteoarthritis. Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit persendian degeneratif yang menyebabkan perubahan patologis pada struktur sendi, sehingga menimbulkan rasa  sakit yang mengarah pada disfungsi sendi, inflamasi yang muncul sewaktu-waktu dan kecacatan. Terapi OA umumnya menggunakan  Non-Streoid Anti Inflammation Drugs  (NSAID's), aspirin, dan berbagai obat analgesik.

Catatan Positif untuk Dibaca Mereka yang Lelah dengan Masalah Hariannya

tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mingguan dari Institut Ibu Profesional, yang menjabarkan tentang karakter moral diri kita sebagai seorang individu, yang terejawantahkan dalam Piramida Ibu Profesional. Mampukah Aku Mencapai Akhlak Mulia sebagai Seorang Ibu (Profesional)?  Akhlak Mulia? Seperti apakah akhlak mulia? Mengapa harus memiliki akhlak mulia dalam menjadi seorang ibu? segitu perlunya? toh jadi ibu mah langsung otomatis setelah anak lahir ceprot ! hohoho Selama ini, paradigma bahwa menjadi ibu adalah bakat alam yang tidak perlu dipelajari masih banyak dipercaya oleh masyarakat ya gengs ! Padahal ternyata menjadi seorang ibu itu bukan hal sederhana. menjadi seorang ibu itu tidak bisa dadakan kayak tahu bulat. Menjadi seorang ibu, harus memiliki akhlak mulia, karena anak akan menyaksikan dan akan belajar darinya sedari anak itu lahir hingga dewasa. Anak adalah seorang peniru ulung (mengutip kata-kata Mbak Okina Fitriani, founder Enlightening Parenting (EP) ), apa yan