Skip to main content

Catatan Positif untuk Dibaca Mereka yang Lelah dengan Masalah Hariannya


tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mingguan dari Institut Ibu Profesional, yang menjabarkan tentang karakter moral diri kita sebagai seorang individu, yang terejawantahkan dalam Piramida Ibu Profesional.

Mampukah Aku Mencapai Akhlak Mulia sebagai Seorang Ibu (Profesional)? 

Akhlak Mulia?
Seperti apakah akhlak mulia?
Mengapa harus memiliki akhlak mulia dalam menjadi seorang ibu? segitu perlunya?
toh jadi ibu mah langsung otomatis setelah anak lahir ceprot!

hohoho
Selama ini, paradigma bahwa menjadi ibu adalah bakat alam yang tidak perlu dipelajari masih banyak dipercaya oleh masyarakat ya gengs! Padahal ternyata menjadi seorang ibu itu bukan hal sederhana. menjadi seorang ibu itu tidak bisa dadakan kayak tahu bulat. Menjadi seorang ibu, harus memiliki akhlak mulia, karena anak akan menyaksikan dan akan belajar darinya sedari anak itu lahir hingga dewasa. Anak adalah seorang peniru ulung (mengutip kata-kata Mbak Okina Fitriani, founder Enlightening Parenting (EP)), apa yang ia saksikan, itulah yang ia lakukan, maka sebaik-baiknya seorang ibu adalah ibu yang mampu menjadi role model yang baik bagi anak-anaknya. Ibu yang memiliki akhlak mulia tentunya sangat mampu menjadi role model yang baik, karena dari role model inilah anak-anak akan meng-install personal value mereka. Jika mereka memiliki orang tua yang di mata mereka sering tampak mengeluh, tentu nilai syukur akan sulit tertanam pada maereka. Begitupun sebaliknya, jika mereka memiliki ibu yang selalu tersenyum, menjalani hidup dengan syukur, mengedepankan taat pada aturan yang disepakati, mereka pun akan mudah taat dan bersyukur, serta tumbuh dengan bahagia.

Akhlak mulia menjadi modal bagi seorang ibu untuk mendidik anaknya, karena setiap kita adalah guru - sebuah statement yang saya lupa baca dimana, dan saya sadari betul, bahwa statement itu benar adanya-.
Lalu bagaimanakah yang dinamakan akhlak mulia itu?
Salah satu guru kami di Ibu Profesional memaparkan, 
akhlak mulia yang dimiliki seorang ibu berkaitan dengan dimilikinya adab dan kemapuan untuk mengembangkan dirinya dengan baik, sehingga ia bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat luas, dan juga keturunannya.
Maka dengan akhlak itu, sedikit saja ilmu yang dia miliki menjadi sebuah modal besar untuk terus berkembang dan memberi manfaat.

mampukah kita memiliki akhlak yang mulia itu?
saya? mampukah saya?

Saya, seperti apakah diri saya ini? mungkinkah saya memilki modal yang cukup untuk memiliki akhlak yang mulia?

Saya adalah seorang pembelajar yang sangat ingin mempelajari banyak hal, nggak mau ketinggalan kalau ada hal yang menyangkut bidang saya atau kepentingan saya, nggak mau kudet. takut kalau telat info. Eh tapi ternyata, ingin mengetahui banyak hal, membuat saya malah kewalahan dan tidak sanggup menelan semuanya. Akhirnya saya memutuskan untuk mencatat semua ketertinggalan materi saya dan memutuskan akan menelannya bertahap, termasuk mengejar ketertinggalan materi yang wajib saya ikuti saat itu juga. Tapi ternyata, mencatat hutang materi malah membuat saya merasa tertekan dan dikejar-kejar, "Ah materi ini belum kubaca, yang itu belum, yang ini belum. Tugas yang ini belum selesai yang itu juga belum! Aaaaaargh!"
Di titik inilah akhirnya saya kelabakan sendiri, dan beruntung dari Institut Ibu Profesional (IIP) saya jadi belajar satu materi penting sebelum belajar seluruh materi lainnya, yaitu bahwa tidak semua ilmu (meskipun itu terlihat berhubungan dengan diri kita) harus kita telan, apalagi pada saat bersamaan.

Ada kalanya kita mengikhlaskan ilmu itu untuk tidak membersamai langkah kita saat itu, dan ada kalanya kita melepaskan ilmu itu untuk memberi ruang bagi diri kita mengaplikasikan ilmu yang lain yang lebih bermanfaat untuk diri sendiri maupun oang sekitar. Karena yang namanya belajar itu baru benar-benar disebut belajar kalau ilmu yang kita pelajari benar-benar memberikan manfaat berupa peningkatan kapasitas diri dan perubahan diri ke arah yang lebih baik.

Seorang pembelajar, biasanya memiliki sifat yang tangguh. Ya! saya adalah orang yang tangguh! Terutama tangguh dalam bertahan memperjuangkan impian, mungkin hal inilah yang membuat saya unik. Kata beberapa teman, tak banyak wanita - terutama yang sudah berprofesi sebagai seorang ibu- yang masih bertahan dengan jaring-jaring mimpinya untuk dicapai. Saya tidak bisa seperti itu. Saya memilliki kemauan yang keras, saya tidak bisa melepaskan impian-impian saya. Saya pernah mencoba melakukannya, tapi rasanya berat sekali, sakit sekali. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap menggenggamnya, hanya saja saya memberi tambahan waktu. Ya, banyak sekali impian saya yang belum tercapai, dan bahkan banyak juga yang tidak tercapai (di bawah ini, foto tentang sebagian dari daftar impian saya sejak kuliah semester 1).

Mengapa saya bilang tidak, karena memang sudah terlewat dari batas waktunya dan tidak mungkin diwujudkan lagi. Ketika saya ngotot mewujudkannya, saya harus mengorbankan hal-hal yang tidak layak untuk saya korbankan. Saat itulah kemudian saya mampu ikhlas dengan ketidaktercapaian itu dan tidak lagi menyimpannya dalam daftar impian saya. Dan saya sadar, dalam setiap tahap kehidupan kita, kita akan memiliki fokus yang berbeda, jadi tidak selamanya suatu impian akan kita perlukan di kemudian hari. Karena sejatinya yang kita kejar di dunia ini bukanlah hanya impian dunia saja, tapi impian yang lebih itnggi dari itu . Dan tentunya, semua impian dunia itu tidak boleh terpisah dari usaha kita dalam meraih impian untuk masuk syurga. 😊

Di tengah kesibukan saya sebagai seroang ibu rumah tangga, saya adalah orang yang tidak betah hanya berkarya di rumah saja. Saat ini, profesi utama saya adalah seorang ibu rumah tangga (beberapa bulan ke depan sudah harus beralih profesi), tapi saya tidak bisa jika hanya mendedikasikan diri untuk rumah, saya ingin terus berkarya di luar, saya ingin terus aktif dimana-mana, saya senang kalau ada orang yang mendapat bantuan saya atau manfaat dari saya. Awalnya saya bertengkar degan self talk saya, self talk saya berdebat tentang keinginan untuk menghidupkan sebuah karya dalam diri seorang wanita dan rasa dzolim terhadap keluarga yang terbengkalai ketika wanita itu sibuk mencapai impiannya.
Namun, dari IIP saya belajar bahwa setiap orang berhak dan mampu beraktualisasi diri. Dan apabila orang itu mampu memberikan manfaat untuk lingkungan sekitarnya, maka saat itulah orang itu mampu menjadi role model yang baik bagi anak-anaknya.
Oleh karena itu, tidak masalah jika seorang ibu ingin berkarya di luar rumah, bahkan snagat bagus,. Dengan catatan, semua yang dilakukan harus bermodalkan ridho suami, semua harus dikoordinasikan dengan baik; dengan anak dan suami. Sekeluarga harus menjadi tim, yang saling mendukung aktifitas masing-masing.
Maka kunci kelancaran terlaksananya semua peran kita adalah membuat kesepakatan dengan anak dan suami. menceritakan aktifitas yang ingin atau harus kita jalani, mana yang bisa sinkron, mana yang tidak bisa sinkron dengan kewajiban dan hak kita sebagai seorang ibu dan istri. jika ada potensi sinkron maka bagaimana cara menyinkronkan semuanya, bekerjasama. Jika ada hal yang tidak bisa sinkron, sebagai seorang istri dan ibu -yang syurganya adalah karena pengabdiannya terhadap suami dan anak- juga harus rela melepaskan beberapa hal yang tidak mampu diraih.

Ketika saya masih berkuliah, saya merasa melepas sebuah kepentingan pribadi itu berat. Buat saya, urusan diri saya sendiri itu adalah segala-galanya, dan orang lain tidak boleh mengusiknya. Jadi saya tidak mau menunda pekerjaan saya demi menunggu lambannya seorang teman. Egois sekali bukan? Hal itu juga membuat saya enggan meletakkan "pernikahan" dalam life plan saya, bukannya saya tidak mau menikah, tapi saya tidak memikirkannyaa. Di kepala saya hanyalah impian dan impian duniawi saja. Tapi ternyata saya sangat dikejutkan dengan fakta-fakta yang saya lihat dan alami paska pernikahan saya, karena ternyata saya mendaptkan hal yang snagat besar dan luar biasa dalam hidup saya.
Apakah itu?
"Keberkahan hidup yang benar-benar terasa"
I feel blessed. Feeling blessed bukan berarti hidup terus menerus bahagia tanpa masalah, tentu saja ada masalah, tentu saja ada sedih, bahkan ada trauma psikologis juga tentang suatu hal. Tapi pasca menjadi seorang istri, saya merasakan perubahan besar dari diri saya, saya yang dulunya mendefinisikan diri saya sebagai seorang ambisius dan pemarah, orang yang meledak-ledak dan ngotot, orang yang keras kepala dan tidak peduli kepentingan orang lain, semua berbalik. Hal-hal buruk yang menjadi limiting belief saya berbalik 180 derajat. 

Memiliki pasangan hidup adalah sebuah penyembuhan dari sifat buruk kita -asal pasangan itu kita pilih dengan mengutamakan pilihan berdasarkan ridho Allah, menurut saya-. Setelah menikah, saya kaget bahwa ternyata kini saya bukan lagi seorang ambisius, melainkan seorang tangguh meraih sesuatu namun bijak memutuskan dan menyelesaikan masalah.
Saya tetap orang yang ngotot, tapi hal yang saya ngototkan sekarang adalah hal yang sehat dan krusial, yaitu hal-hal yang jika dilakukan atau tidak dilakukan akan menjadi dosa. Pun saya ngotot tidak dengan keras kepala, tapi dengan mencoba mengerti jalan pikiran orang lain. Apa yang kira-kira orang lain pikirkan hingga ia mengambil langkah yang berbeda dengan saya. Dalam sebuah workshop parenting (Enlightening Parenting) saya mengenal istilah perceptual position, yaitu sebuah teknik untuk memahami pola pikir orang lain sehingga kita bisa melepas emosi kita terhadap orang itu. Hal itu semakin mendukung saya untuk peduli dengan orang lain, dan karena setrum dari IIP juga saya terus bersemangat untuk menjadi orang yang peduli. Pernikahan membawa saya menjadi orang yang tau caranya mengalah tanpa kalah, kebijaksanaan ini tidak pernah saya bayangkan akan merasuk ke dalam pikiran saya.

saya kini juga tidak mau lagi menjadi orang yang pemarah, tapi saya mampu dan akan terus berusaha untuk semakin mampu memegang kendali atas emosi saya dan atas respon saya terhadap suatu tantangan (tidak ada masalah, yang ada adalah tantangan). Beberapa kali memang - sebagai seorang ibu pada umumnya- saya masih gagal ambil kontrol emosi sesaat dan gagal disosiasi, karena saya bertumbuh. Saya tidak mau mengambil definisi bahwa saya ibu yang gagal, hanya karena satu kegagalan yang sebenarnya bisa diperbaiki, karena saya terus bertumbuh. Inilah salah satu kesamaan saya dengan IIP, terus bertumbuh, terus mengembangkan diri, terus mengevaluasi, terus menuju kearah yang lebih baik, terus berbagi dan melayani. Dimana semua itu adalah ciri dari akhlak yang mulia.

Apakah Aku Ibu Yang Gagal?

Saya menyebukan bahwa saya ingin terus berbagi dan melayani, apakah itu berarti saya hidup untuk orang lain?
Tidak! Berbagi dan melayani versi saya bukan berarti terus menerus mendedikasikan diri untuk sosial, namun juga berbagi dan melayani untuk diri sendiri. Mencintai diri sendiri adalah sesuatu yang penting, kita selama ini mungkin sudah merasa mencintai diri kita, tapi apakah benar? berapa kali kita menganggap diri kita gagal hanya karena anak sakit? hanya karena kita salah pola asuh sedikit? atau bahkan mungkin karena sebuah kesalahan besar dalam hidup kita lalu kita menyesal tiada akhir. Untuk apa? lalu kalau kita mendefinisikan diri kita sebagai seorang yang gagal, masalah akan berubah? hidup kita akan lebih baik atau lebih terpuruk?
Terbayangkan betapa tidak ada dayanya diri ketika kita sudah melabel diri sebagai ibu yang gagal atau manusia yang gagal. padahal ketika kita mau memaafkan diri sendiri dengan sesungguhnya, kita bisa maju dan melakukan perbaikan yang jauh lebih baik.

Memang, memaafkan diri sendiri itu bukanlah hal yang sederhana. Tapi saya bilang, ini hanya tentang kemauan, bukan kemampuan. Karena kita pasti mampu ketika kita mau. 
Memaafkan diri itu bukan dengan lari jauh dari masalah, mencoba bersenang-senang dengan hal lain untuk melupakan masalah atau kesalahan atau penyesalan. Tidak! memaafkan diri sendiri seharusnya adalah mengikhlaskan kesalahan atau kegagalan yang sudah terjadi; yang sudah kita lakukan. Dan membolehkan diri kita melakukan kesalahan itu di masa lalu. Kita manusia. boleh kok salah.Bahkan kalau ada orang lain yang tidak bisa memaafkan kesalahan kita, kita tidak berhak loh ikut-ikutan menyalahkan diri kita sendiri! Atau bahkan juga ikut tidak memaafkan diri kita.
 
Berilah ruang kawan, berilah ruang untuk "boleh salah", berilah ruang untuk "boleh menyesal", dan berikan sebuah pintu berkunci ganda pada ruangan itu. Ketika kita salah dan kita menyesal, kita akan tiba-tiba masuk ke ruangan itu tanpa sadar, ruang yang gelap, pengap, kosong, sunyi, sepi, sakit, insecure, luka, tidak ada apa-apa, hampa. Tapi ternyata ruangan itu memiliki pintu yang dicelah-celah pintunya dapat kita lihat cahaya yang menyelusup. Wah! cahaya itu indah! cahaya itu mengajak kita keluar dari kegelapan!
 
Yap! Ayo keluar dari ruangan itu. Selesaikanlah urusan kita di ruangan itu, dan melangkahlah ke pintu itu. Buka pintunya, lihat dan seraplah cahaya di luar pintu. tengok ke dalam ruangan tadi sejenak, ucapkan "terimakasih kesalahan yang lalu, dan terimakasih banyak penyesalan yang sempat hadir. Kalian membuatku tahu rasanya sakit dan membuat aku tahu mana yang harus diperbaiki. Selamat tinggal, aku akan pergi bersama cahaya ini untuk mencapai hal-hal baik di depan sana!". Kuncilah pintu itu dan berbaliklah, "Terimakasih diriku, yang sudah mau menyesal dan meninggalkan penyesalan itu dibalik pintu, terimakasih banyak atas keberanianmu melangkah keluar pintu untuk melakukan segala perbaikan bersama limpahan cahaya ini".

Menjadi seorang role model yang baik, tentunya harus mau berlatih menuntaskan dirinya, Meskipun masih terasa tak kunjung tuntas, tak apa, kita harus terus maju mensukseskan penuntasan itu. Tidak perlu meratap, "kenapa aku tidak kunjung tuntas dengan diriku!", kita ini sedang berproses, diri ini sedang berproses, tentu butuh waktu. Usahlah pikirkan kapan proses ini selesai, terus saja bertumbuh. Sebab kita tak kan mungkin mampu menentukan hasil akhir dari proses ini, hasil adalah murni kuasa Sang Pemilik Takdir. Maka, kita tidak perlu repot-repot mengisi kepala kita yang mungil ini dengan urusan Tuhan, Tuhan tak butuh bantuan kita. Kitalah yang perlu bantuan-Nya.

Yogyakarta, 22 Juni 2020
(Di tengah penantian tercapainya impian besar)
 




















Comments

Favorite Bite

KOLANG KALING FOR ANALGESIK IN OSTEOARTHRITIS

dari prasetya.ub.ac.id ini penelitian kami berlima :) , ide dari dospem kami yang perhatian Dr.Ir.Elok Zubaidah,MP. Lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) berhasil menggali potensi kolang-kaling menjadi obat terapi nyeri sendi atau osteoarthritis .  Lima mahasiswa tersebut adalah Raehana Saria Gahari (FTP), Khusnul Khotimah (FTP), Hasia Azizah (FTP), Yuan Laura (FK) dan Indah Rahma Putri (FK). Kolang-kaling yang pada umumnya digunakan untuk campuran minuman ternyata memiliki manfaat besar bagi gerak tubuh yang kaku. Yaitu sebagai pangan nutrasetikal yang berfungsi untuk terapi sehat bagi penderita osteoarthritis. Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit persendian degeneratif yang menyebabkan perubahan patologis pada struktur sendi, sehingga menimbulkan rasa  sakit yang mengarah pada disfungsi sendi, inflamasi yang muncul sewaktu-waktu dan kecacatan. Terapi OA umumnya menggunakan  Non-Streoid Anti Inflammation Drugs  (NSAID's), aspirin, dan berbagai obat analgesik.

KERETA

Aku selalu suka kereta. Dulu ketika aku kecil, aku suka melihatnya lewat dengan cepat  di perempatan perlintasan kereta dekat rumahku. Ya, aku mengagumi kereta. Ayah dan ibulah yang membuatku mengaguminya, entah kenapa. Dahulu, ketika kakiku belum mampu menapak bumi, sengaja ayah atau pun ibu membawaku ke perempatan perlintasan kereta. Berbagai macam tujuannya. Kadang kala ibu ingin meningkatkaan nafsu makanku –karena melihat kereta lewat membuat aku lebih banyak menelan sarapan dan makan siangku-, kadang kala untuk menghentikan tangisku yang melengking, kadang kala hanya untuk melambaikan tangan mengantar kepergiannya. Dan begitulah seterusnya, hingga tibalah aku pada tahun ketujuh hidupku di dunia. Kebiasaan itu mulai menghilang seiring  munculnya berbagai pertanyaan di otakku, kenapa kita melambai pada kereta sementara kereta tak pernah memedulikan kita, kepada siapa sebenarnya kita melambai, dan sebuah pertanyaan titik balik yang berbunyi apa bagusnya melihat kereta lewat, seme