Skip to main content

Si bocah lelaki cacat dan ibunya yang lusuh(catatan senja,malang)

Langit sudah semakin jingga, cahaya di sekitarku perlahan memudar, dan
sayup2 tilawah tape recorder mulai bersahutan menggiring adzan maghrib.
aku masih terpojok kaku disini,di dalam angkot mungil yg dijejali oleh belasan orang. Pengap,panas,sesak,lembab,dan ... muak.Saraf nosiseptifku pun mulai berteriak teriak,menyicil rasa nyeri yang menjalari seluruh tubuhku yg terjepit.
Berusaha keras bergerak,percuma.akhirnya ak hanya terus berkonsentrasi menahan rasa nyeri ini,yg semakin ditahan semakin menjadi jadi.
Di tengah konsentrasiku datanglah seorang wanita paruh baya,berpakaian kacau dan usang,kepalanya terlindung topi yg sekaligus menutupi matanya,tangan kirinya membopong selendang yg membungkus rapat seorang bayi mungil.tangan kanannya menengadah pada kami,para penumpang angkot.dengan memelas,ia memohon belas kasihan berupa recehan.sekian lama,tak satupun yg menggubrisnya.kami sudah terlalu repot menaruh tubuh masing2 didalam sini,bergerak saja tdk bs,apalagi harus merogoh recehan mungil yang entah dimana,tentu sulit.
Di samping wanita itu,seorang bocah laki2 bergumam tanpa arti.bocah itu cacat matanya,tak mampu dibuka.hanya berkedip2 sedikit dan bola matanya terlihat putih semua.
Tangan si bocah,memegang erat kain lusuh yang membalut tubuh si wanita,dan kuduga mereka adalah sepasang ibu dan anak.
Sang ibu tak menyerah memohon kepada kami,sampai akhirnya seorang pemuda angkat bicara dan menolaknya dg sopan.
Tolakan si pemuda,menggerakkan kaki si wanita untuk juga bertolak menjauhi kami.
Aku tak lepas memperhatikan wanita itu,juga sang bocah lelaki yang mengikuti di belakangnya. Mereka memprihatinkan.

Sejenak,aku mulai bosan dan jengah berjubel menyakitkan didalam mobil tua ini.Penumpang lain pun telah penuh emosi dan keringat,tapi angkot tak juga berangkat.
Si bapak sopir masih bercengkrama dengan dengan rokoknya.dan aku hanya bs menarik nafas panjang.

Jengkel melihat sopir itu,aku berpaling dengan kesal.kulempar pandanganku menuju si ibu paruh baya dan anaknya.

Betapa beruntungnya aku ini,pikirku.
Sang ibu terlihat gontai dan payah,kakinya sedikit pincang.ia terduduk di pinggir jalan,seraya membetulkan gendongan si bayi dengan gerakan yang agak kasar.gerakan kasar itu,kuduga akan membuat si bayi terbangun.namun tidak,ternyata. Mungkin bayi itu juga luar biasa lelah.

tak lama kemudian,kulihat sang ibu berdiri meregangkan badan,lalu berjalan tegap.ya,berjalan tegap,tdk pincang.aku tersenyum,pastilah istirahat sejenak di pinggir jalan itu memulihkan kakinya yg mungkin hanya lelah.
Sang wanita terlihat sendirian,aku melayangkan pandangan mencari anaknya,si bocah lelaki cacat itu.
Anak itu ternyata berada jauh dr si ibu,ia bermain dan berlarian.dengan mata yg normal.hitam putih bulat.mata yg normal.
Dahiku mulai mengernyit.

Sejurus setelahnya,angkot lain datang dr kejauhan.
"Le!" teriak si ibu memanggil bocah lelaki itu. Bocah lelaki pun berlari menuju si ibu.sehabis memarahi anak itu sejenak, si ibu berjalan menuju angkot yg baru saja datang, dengan kakinya yang tiba2 pincang lagi .diikuti oleh si anak,yg sejenak membetulkan posisi matanya, sehingga terlihatlah matanya kembali cacat,serupa saat mereka menyambangkli angkot yang aku tumpangi.
Mereka berjalan kulihat berjalan penuh penderitaan, dan juga penuh kebohongan.
Bocah sekecil itu,begitu mahir dalam memainkan perannya.sungguh biadab akhlak para juragan pengemis itu.bahkan aku dengar,kabarnya bayi2 pengemis adalah bayi sewaan yg telah dicekoki miras agar tdk menangis berjam jam,bahkan seharian.

Kadang bertahan hidup perlu strategi.tetapi,strategi yg kotor tak akan mempertahankan hidup.krn rezeki dan barakah adalah ibarat lampu dan listrik.lampu tak akan menerangi tanpa listrik.dan listrik tak mampu memberi penerangan tanpa lampu.
Dan sekali lagi,aku perpikir,betapa beruntungnya aku,lahir dan besar dalam lingkungan yg melindungiku.

Comments

Favorite Bite

KOLANG KALING FOR ANALGESIK IN OSTEOARTHRITIS

dari prasetya.ub.ac.id ini penelitian kami berlima :) , ide dari dospem kami yang perhatian Dr.Ir.Elok Zubaidah,MP. Lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) berhasil menggali potensi kolang-kaling menjadi obat terapi nyeri sendi atau osteoarthritis .  Lima mahasiswa tersebut adalah Raehana Saria Gahari (FTP), Khusnul Khotimah (FTP), Hasia Azizah (FTP), Yuan Laura (FK) dan Indah Rahma Putri (FK). Kolang-kaling yang pada umumnya digunakan untuk campuran minuman ternyata memiliki manfaat besar bagi gerak tubuh yang kaku. Yaitu sebagai pangan nutrasetikal yang berfungsi untuk terapi sehat bagi penderita osteoarthritis. Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit persendian degeneratif yang menyebabkan perubahan patologis pada struktur sendi, sehingga menimbulkan rasa  sakit yang mengarah pada disfungsi sendi, inflamasi yang muncul sewaktu-waktu dan kecacatan. Terapi OA umumnya menggunakan  Non-Streoid Anti Inflammation Drugs  (NSAID's), aspirin, dan berbagai obat analgesik.

Catatan Positif untuk Dibaca Mereka yang Lelah dengan Masalah Hariannya

tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mingguan dari Institut Ibu Profesional, yang menjabarkan tentang karakter moral diri kita sebagai seorang individu, yang terejawantahkan dalam Piramida Ibu Profesional. Mampukah Aku Mencapai Akhlak Mulia sebagai Seorang Ibu (Profesional)?  Akhlak Mulia? Seperti apakah akhlak mulia? Mengapa harus memiliki akhlak mulia dalam menjadi seorang ibu? segitu perlunya? toh jadi ibu mah langsung otomatis setelah anak lahir ceprot ! hohoho Selama ini, paradigma bahwa menjadi ibu adalah bakat alam yang tidak perlu dipelajari masih banyak dipercaya oleh masyarakat ya gengs ! Padahal ternyata menjadi seorang ibu itu bukan hal sederhana. menjadi seorang ibu itu tidak bisa dadakan kayak tahu bulat. Menjadi seorang ibu, harus memiliki akhlak mulia, karena anak akan menyaksikan dan akan belajar darinya sedari anak itu lahir hingga dewasa. Anak adalah seorang peniru ulung (mengutip kata-kata Mbak Okina Fitriani, founder Enlightening Parenting (EP) ), apa yan

KERETA

Aku selalu suka kereta. Dulu ketika aku kecil, aku suka melihatnya lewat dengan cepat  di perempatan perlintasan kereta dekat rumahku. Ya, aku mengagumi kereta. Ayah dan ibulah yang membuatku mengaguminya, entah kenapa. Dahulu, ketika kakiku belum mampu menapak bumi, sengaja ayah atau pun ibu membawaku ke perempatan perlintasan kereta. Berbagai macam tujuannya. Kadang kala ibu ingin meningkatkaan nafsu makanku –karena melihat kereta lewat membuat aku lebih banyak menelan sarapan dan makan siangku-, kadang kala untuk menghentikan tangisku yang melengking, kadang kala hanya untuk melambaikan tangan mengantar kepergiannya. Dan begitulah seterusnya, hingga tibalah aku pada tahun ketujuh hidupku di dunia. Kebiasaan itu mulai menghilang seiring  munculnya berbagai pertanyaan di otakku, kenapa kita melambai pada kereta sementara kereta tak pernah memedulikan kita, kepada siapa sebenarnya kita melambai, dan sebuah pertanyaan titik balik yang berbunyi apa bagusnya melihat kereta lewat, seme